Saturday, January 22, 2011

Bercinta (Alam) Sesuai Etika?


Oleh: H. Ihsan Muchtar*

Take nothing but picture
Leave nothing but footprint,
Kill nothing but time

Bagi seorang pendaki bukanlah menjadi hal baru bila ia menemukan coretan-coretan di lokasi puncak atau di jalur pendakian. Tulisan vandalism seperti Ekspedisi 7 Puncak, Hamster love Marmut forever, GEMPALA waz here, dan lain sebagainya yang kerap ditemukan terpampang di batu-batu, pepohonan, atau papan peringatan. Belum lagi ditambah dengan bungkus mie, permen, snack, kertas dan sampah yang berserakan di mana-mana.

Karenanya, tepatlah bila di kalangan pencinta alam terdapat etika berkegiatan. Kesadaran akan Take nothing but picture, leave nothing but footprint, and kill nothing but time akan sangat membantu dalam usaha konservasi namun tidak menghambat dalam berkegiatan di alam bebas.

Namun, apakah sebenarnya seorang pencinta alam harus benar-benar mengamalkan hal di atas secara tekstual? Pada kenyataannya, seseorang tidak benar-benar mengamalkan ketiga hal diatas. Misalnya ketika kita tidak boleh mengambil apapun, apakah ketika kita mengambil air untuk kebutuhan perjalanan dianggap telah melanggar etika? Dan itu berarti seorang pendaki diharuskan benar-benar membawa air dari start point hingga selesai perjalanan. Apakah ketika seorang pendaki mendapat ‘panggilan alam’ ia tidak diperbolehkan ‘men-download’ di alam dan harus membawa setiap tetes atau setiap gram dari kotorannya agar tidak melanggar etika? Ataukah ia tidak diperbolehkan untuk meninggalkan string line atau melukai pohon dengan konsekuensi besarnya peluang untuk tersesat ketika kembali ke jalur yang sama? Dan apakah seorang pendaki tidak diperbolehkan membunuh binatang buas atau berbisa yang mengancam keselamatan dirinya?

Manakah yang disebut pencinta alam ketika seseorang yang memindahkan seekor ulat di jalur pendakian agar tidak terinjak oleh teman di belakangnya ataukah seseorang di dalam tenda yang tanpa ragu membunuh seekor serangga kecil yang mengganggu di tengah evaluasi dan briefing malam hari?

Ketiga etika tersebut seyogyanya dipahami esensi yang melatarbelakanginya. Eksploitasi terhadap alam walaupun sedikit tetapi dilakukan oleh banyak orang tentunya akan berdampak ekologis. Sebaliknya, secuil usaha lestari yang dilakukan banyak orang pastinya dapat berdampak besar pada terjaganya keseimbangan alam. Sehingga sejatinya seorang pecinta alam berusaha untuk menjaga kelestarian alam dan turut melakukan konservasi dalam berkegiatan alam.

Dengan demikian, ketika etika menghambat tujuan mencintai itu sendiri, apakah berarti tidak diperbolehkan bagi seorang pencinta alam untuk mengambil sesuatu di alam untuk tujuan konservasi? Entah apa jawaban yang tepat. Dibutuhkan penyamaan persepsi dalam menafsirkan hal ini. Hanya, jawaban sementara yang, mungkin, masih masuk akal, : “maaf, mas. Sy cuma pencinta (atau penikmat) alam yang masih (dianggap) gobl*k”.  Dengan sedikit bumbu guyon tentunya.

Ketekunan menggeluti kegiatan alam bebas seharusnya bisa membentuk kita lebih kreatif dan arif dalam menyikapi berbagai hal, utamanya kesulitan hidup. Selain itu juga membuat manusia menjadi lebih capable to survive. Pada akhirnya, Berpetualang di alam bebas memang bisa memberikan pelajaran kehidupan yang berharga bagi kita.



Welirang, 5 Oktober 2010, 00.35 am

*) Penulis adalah anggota tim aplikasi AMED XXXIII IMPALA UNIBRAW